Foto: Dok. (Net- Gambar ilustrasi) Kuasai PRONA Pancawati 2016: Mafia Tanah Libatkan Oknum Pejabat, Profesi Hukum dan Preman. |
CEK UP DATE | BOGOR - Kasus pengalihan tanah Program Nasional Agraria (PRONA) di Desa Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, tahun 2016 mencuat ke permukaan. Sejumlah warga menyampaikan kesaksian dan dokumen yang menunjukkan adanya dugaan praktik terstruktur dalam pengalihan tanah eks Hak Guna Usaha (HGU) PT RSB kepada pihak ketiga, dengan indikasi keterlibatan sejumlah pihak dari unsur aparat desa, makelar tanah, hingga profesi hukum. Senin (13/10/2025).
Berdasarkan informasi yang dihimpun, proses pendaftaran tanah dalam program PRONA tersebut diduga menggunakan nama warga yang bukan penggarap riil untuk penerbitan sertipikat.
Sertipikat tersebut kemudian beralih tangan melalui dokumen perjanjian dan akta jual beli, meski tanah dalam kondisi sengketa. Proses balik nama dan konversi sertipikat digital di Badan Pertanahan Nasional (BPN) tetap dilakukan, meskipun warga menyatakan terdapat kejanggalan prosedural.
Penggarap Sah Menjadi Korban
Tanah yang menjadi objek perkara merupakan lahan bekas HGU PT RSB yang telah habis masa berlakunya dan dialokasikan pemerintah kepada masyarakat melalui Program PRONA tahun 2016. Jana Raharja, salah satu penggarap yang telah mengusahakan lahan tersebut sejak 2001, mengaku tidak pernah menerima sertipikat atas tanah garapannya.
“ Saya menggarap tanah ini sejak 2001 sampai sekarang dan terbuka di masyarakat. Tiba-tiba sertipikat atas nama orang lain, dijual ke pihak ketiga, dan saya malah dilaporkan polisi. Ini jelas perampasan,” ujar Jana Raharja di lokasi lahannya, Minggu (12/10/2025).
Jana menambahkan. Dalam proses pendaftaran PRONA, sejumlah nama warga seperti Jamaludin, Nining, dan Sugandi tercantum sebagai penerima sertipikat, padahal mereka mengaku tidak pernah menggarap tanah tersebut.
" Sertipikat tersebut dikuasai oleh aparat desa, bukan oleh para pihak yang namanya tercantum," ungkapnya.
Kesaksian Pihak yang Namanya Dicatut
Jamaludin, salah satu warga yang namanya tercantum dalam sertipikat, membantah telah mengajukan permohonan atau menerima sertipikat tanah tersebut.
“ Saya tidak pernah merasa mengajukan permohonan sertipikat untuk tanah tersebut," katanya kepada awak media.
" Saya juga tidak pernah menggarap atau menguasai tanah itu sejak dulu. Nama saya dipakai tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan saya. Saya baru tahu belakangan kalau sertipikat tanah atas nama saya digunakan untuk dijual ke pihak lain. Saya tidak pernah menerima sertipikat, tidak menandatangani permohonan resmi, dan tidak memperoleh keuntungan apa pun dari proses tersebut,” ungkap Jamaludin.
Pernyataan serupa disampaikan oleh Jajat, warga Desa Pancawati. Ia menyatakan bahwa namanya dicantumkan sebagai penerima sertipikat tanpa sepengetahuannya.
“ Saya mendukung sepenuhnya Bapak Jana Raharja sebagai penggarap sah tanah di Desa Pancawati. Saya menyaksikan langsung sejak tahun 2001 beliau secara aktif dan terbuka mengelola tanah tersebut. Saya sendiri tidak pernah mengajukan permohonan sertifikat maupun ikut program PRONA, namun nama saya tiba-tiba dicantumkan sebagai penerima sertifikat tanpa sepengetahuan saya," bebernya.
" Saya dipaksa menandatangani dokumen oleh aparat desa dan makelar, diberikan sejumlah uang, serta tidak pernah menerima sertifikat asli,” aku Jajat.
Dugaan Pelanggaran Hukum
Berdasarkan hasil penelusuran dan pendapat ahli agraria yang dimintai keterangan, kasus ini berpotensi terkait dengan sejumlah ketentuan hukum, antara lain :
• KUHP Pasal 167, 170, 263, 264, 372, 378, 406, 55 dan 56,
• Perpu No. 51 Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa hak,
• UU Tipikor Pasal 2 dan 3 mengenai penyalahgunaan wewenang,
• UUPA Pasal 6 dan 10 mengenai fungsi sosial tanah dan kewajiban mengusahakan, serta
• UU Advokat No. 18 Tahun 2003 terkait pelanggaran etik profesi hukum.
Pola yang terjadi dalam kasus ini menyerupai modus mafia tanah, yakni pencatutan nama, pemalsuan dokumen, peralihan hak tanpa dasar penguasaan riil, penguasaan lahan melalui tekanan fisik, serta legalisasi dokumen melalui proses formal yang menyimpang.
Pihak BPN, notaris/PPAT, dan pembeli yang disebut dalam kasus ini belum memberikan tanggapan resmi. Hingga berita ini diturunkan, wartawan masih berupaya meminta konfirmasi kepada perangkat desa Pancawati dan instansi terkait untuk memperoleh klarifikasi.
Langkah Hukum dan Tindak Lanjut
Jana Raharja, Jamaludin dan Jajat bersama kuasa hukumnya merencanakan langkah hukum terpadu, meliputi pelaporan pidana, pemblokiran sertipikat ke BPN, gugatan perdata, pelaporan etik ke organisasi profesi, serta pelaporan ke Satgas Mafia Tanah Kementerian ATR/BPN.
Mereka berharap penegakan hukum dapat dilakukan secara menyeluruh dan transparan. Kasus PRONA Desa Pancawati 2016 menunjukkan persoalan serius dalam tata kelola pertanahan di tingkat lokal.
Dugaan praktik terorganisir dalam pengalihan tanah negara memerlukan penyelidikan komprehensif dari aparat penegak hukum, lembaga agraria, serta lembaga pengawas profesi hukum.
(Ltb)